Jumat, 31 Desember 2010

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi

Seorang muslim hendaklah mengetahui bahwa tahun baru (masehi) bukanlah hari raya Islam. Tahun baru bukanlah salah satu hari raya Islam sebagaimana Idul Fithri dan Idul Adha. Jika kita melirik pada sejarah umat Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in ataupun ulama-ulama madzhab semacam Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad; kita akan jelas mengetahui bahwa tahun baru bukanlah hari raya Islam sama sekali. Tidak ada satu orang pun dari generasi terbaik umat ini yang merayakannya. Lalu pantaskah kita sebagai seorang muslim menganggap baik merayakan tahun baru? Cukuplah perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut menjawab pertanyaan di atas.

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ


“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”

Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqaf ayat 11). Berarti yang tidak mereka lakukan, lalu dilakukan oleh orang-orang setelah mereka adalah perkara yang jelek. Maka begitu pula halnya kita katakan pada perayaan tahun baru. Seandainya perayaan tersebut adalah baik, tentu para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya.

Perlu diketahui pula bahwa merayakan semacam ini juga berarti telah meniru-niru orang kafir. Karena kita ketahui bersama bahwa budaya perayaan ini adalah budaya mereka, orang barat yang kafir, tidaklah pantas seorang muslim meniru-niru mereka. Ingatlah bahwa suri tauladan dan panutan kita telah memberi wejangan kepada kita,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Inilah dampak yang sangat besar yang menyerang aqidah dan akhlak seorang muslim. Selanjutnya kita akan melihat dampak negatif lainnya.

Dampak Negatif Merayakan Tahun Baru (Masehi)

Pertama; merayakan tahun baru berarti telah meniru-niru orang kafir (tasyabbuh), sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kedua; merayakan tahun baru berarti telah membuat perkara bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan salafush shaleh. Termasuk juga berdzikir (secara jama’ah) untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, ini juga termasuk bid’ah yang tidak ada tuntunannya sama sekali.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.


”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ


“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Ketiga; telah terjerumus dalam keharaman dengan mengucapkan selamat tahun baru. Karena kita ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin sama sekali. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini.

Ibnul Qayyim dalam Ahkamu Ahli Dzimmah mengatakan, ”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau tahun baru, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.”

Keempat; merayakan tahun baru juga dapat melalaikan dari perkara wajib yaitu shalat lima waktu.

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk, menunggu hingga detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari perkara wajib yaitu menunaikan shalat Shubuh. Bahkan mungkin di antara mereka tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mungkin mereka tidur hingga pertengahan siang. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa jika sengaja begadang seperti ini mengakibatkan bangun kesiangan sehingga shalat shubuh dikerjakan setelah matahari terbit, maka bentuk kesengajaan seperti sama saja dengan meninggalkan shalat. Namun yang lebih parah adalah jika tidak mengerjakan shalat shubuh sama sekali. Ingatlah bahwa dosa meninggalkan shalat bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7)

Kelima; orang yang merayakan tahun baru juga akan luput dari shalat yang sangat utama yaitu shalat malam (shalat tahajud). Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ


“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Melalaikan shalat malam karena disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Keenam; begadang setelah Isya adalah perkara yang dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali memang ada kepentingan syar’i.

Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat Isya’ dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)

Ketujuh; merayakan tahun baru dengan membunyikan mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya adalah suatu kemungkaran karena hal ini dapat mengganggu muslim lainnya, mengganggu orang yang sedang butuh istirahat atau mengganggu orang yang sedang sakit. Padahal sifat seorang muslim adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41)

Kedelapan; merayakan tahun baru juga termasuk pemborosan harta. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000, lalu yang melaksanakan tahun baru sekitar 10 juta orang, hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dan sebagainya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isra’ [17]: 26-27).

Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Seandainya seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qatadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27)
Read More ..

Larangan Meniru Orang Kafir

Penulis: Ust. Aris Munandar

Dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah anshor, “Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberitahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabipun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Robbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.” (HR. Abu Daud, shahih)

Hadits di atas adalah di antara sekian banyak hadits yang menunjukkan bahwa menyerupai orang kafir adalah terlarang.

Ketika Nabi tidak senang dengan terompet Yahudi yang ditiup dengan mulut dan lonceng Nasrani yang dibunyikan dengan tangan, beliau beralasan karena itu adalah perilaku orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan alasan yang disebutkan setelah penilaian itu menunjukkan bahwa alasan tersebut adalah illah/motif hukum dari penilaian. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa Nabi melarang semua ciri khas Yahudi dan Nasrani. Padahal menurut sebagian sumber, terompet Yahudi itu diambil dari ajaran Nabi Musa. Di masa Nabi Musa orang-orang dikumpulkan dengan membunyikan terompet.

Sedangkan lonceng orang-orang Nasrani adalah buatan mereka sendiri dan bukan ajaran Nabi Isa. Bahkan mayoritas ajaran Nasrani itu buatan pendeta-pendeta mereka.

Motif hukum di atas menunjukkan bahwa suara lonceng dan terompet itu tetap terlarang di waktu kapan pun dibunyikan bahkan meski dibunyikan di luar waktu shalat. Dengan pertimbangan bahwa dua jenis suara tersebut merupakan simbol Yahudi dan Nasrani karena orang-orang Nasrani membunyikan lonceng dalam berbagai kesempatan, meski di luar waktu ibadah mereka.

Sedangkan simbol agama ini adalah suara adzan yang mengandung pemberitahuan dengan bacaan-bacaan dzikir. Dengannya pintu-pintu langit terbuka, setan lari terkentut-kentut dan rahmat Allah diturunkan.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Simbol agama Yahudi dan Nasrani ini telah dipakai oleh banyak umat Islam, baik yang menjadi penguasa ataupun yang bukan.

Sampai-sampai kami menyaksikan pada hari Kamis yang hina ini banyak orang membakar dupa dan membunyikan terompet-terompet kecil.

Bahkan ada seorang penguasa muslim yang membunyikan lonceng pada saat shalat lima waktu. Perbuatan inilah yang dilarang oleh Rasulullah.

Ada juga penguasa yang membunyikan terompet di pagi dan sore hari. Menurut persangkaan orang tersebut dalam rangka menyerupai Dzulqarnain. Sedangkan pada selain dua waktu tersebut dia wakilkan kepada yang lain.

Inilah tindakan menyerupai orang Yahudi, Nasrani dan orang non Arab yaitu Persia dan Romawi. Ketika perbuatan-perbuatan semacam ini yaitu berbagai perbuatan yang menyelisihi petunjuk Nabi telah dominan dilakukan oleh para penguasa muslim di bagian timur dunia Islam maka oleh memberikan kesempatan kepada orang Turki yang kafir untuk mengalahkan para raja tersebut padahal Nabi menjanjikan bahwa kaum muslimin nanti akan memerangi orang-orang Turki tersebut. Akhirnya orang-orang Turki tersebut melakukan berbagai aksi kekerasan yang belum pernah terjadi di dunia Islam sekalipun.

Inilah bukti kebenaran sabda Nabi, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”

Kaum muslimin di masa Nabi dan masa-masa sesudahnya pada saat peran hanya terdiam dan mengingat Allah.

Qais bin Ibad, salah seorang tabi'in senior mengatakan, “Mereka, para shahabat menyukai bersuara lirih pada saat berdzikir, ketika perang dan waktu di dekat jenazah.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih). Riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa dalam sikon-sikon di atas para shahabat bersikap tenang sedangkan hati mereka dipenuhi nama Allah dan keagungan-Nya. Hal ini sama persis dengan keadaan mereka pada saat shalat. Bersuara keras dalam tiga kondisi di atas merupakan kebiasaan ahli kitab dan non arab yang kafir lalu diteladani banyak kaum muslimin.”

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa suara lonceng itu terlarang secara mutlak, pada semua waktu.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lonceng adalah seruling setan.” (HR. Muslim, dll)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصْحَبُ الْمَلَائِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلَا جَرَسٌ


Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Malaikat tidak akan menyertai rombongan yang membawa lonceng/genta atau anjing.” (HR. Muslim)

Ibnu Hajar mengatakan, “Genta terlarang karena suaranya yang menyerupai suara lonceng orang-orang Nasrani di samping menyerupai bentuknya.”

Bagaimana Dengan Suara Alarm Atau yang Lainnya?

Syaikh Al Albani mengatakan, “Pada zaman ini terdapat berbagai suara buatan dengan beragam tujuan. Ada suara alarm jam untuk membangunkan dari tidur, suara dering panggilan telepon, suara bel yang ada di instansi pemerintah atau asrama. Apakah suara-suara buatan tersebut termasuk dalam hadits-hadits larangan di atas dan hadits-hadits lain yang semakna? Jawabanku, tidak termasuk, karena suara-suara buatan tersebut tidak menyerupai suara lonceng baik dari sisi suara ataupun bentuk.

Namun jawaban di atas tidaklah berlaku untuk suara jam besar berpendulum yang digantungkan di dinding. Suara jam tersebut sangat mirip dengan suara lonceng. Oleh karena itu jam jenis tersebut tidak sepatutnya ada di rumah seorang muslim. Lebih-lebih sebagian jam jenis tersebut memiliki suara yang mirip dengan suara musik sebelum berdetak sebagaimana suara lonceng gereja, semisal jam London yang terkenal dengan nama Big Ban yang diperdengarkan melalui radio London.

Sangat disayangkan seribu sayang jam jenis tadi merambah sampai ke dalam masjid disebabkan ketidaktahuan mereka dengan aturan agama mereka sendiri. Sering sekali kami mendengar seorang imam shalat membaca ayat-ayat yang mencela keras kesyirikan dan trinitas sedangkan suara lonceng gereja terdengar jelas di atas kepala mereka, mengajak dan mengingatkan kepada akidah trinitas sedangkan imam shalat dan jamaahnya tidak menyadari hal ini.” (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah hal 167-169)

Tidak kalah disayangkan ada sebuah pesantren besar di negeri kita yang sejak dulu hingga sekarang menggunakan lonceng sebagai belnya. Demikian pula banyak kaum muslimin terutama generasi mudanya yang pada saat akhir tahun masehi atau acara ulang tahun yang terlarang ramai-ramai membunyikan terompet yang dilarang oleh Nabi.

Jika membunyikan terompet karena adanya sebuah kebutuhan yaitu mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat berjamaah (saja terlarang -ed), maka bagaimanakah juga dalam even yang tidak ada dorongan kebutuhan, bahkan itu adalah dalam rangka memperingati awal tahun masehi.
Read More ..

Kamis, 23 Desember 2010

Hukum Mengucapkan "Selamat Natal" Bagi Seorang Muslim

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.

Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa alias ‘boleh-boleh saja’. Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.

Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran Islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-

Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.

Fatwa Pertama: Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama

Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.

Beliau rahimahullah pernah ditanya,
“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”

Beliau rahimahullah menjawab:
Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridha dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridha terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhai hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ


“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Qs. Az Zumar [39]: 7)

Allah Ta’ala juga berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا


“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah [5]: 3)

Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat Natal?

Memberi ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhai oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.

Mengenai agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ


“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imron [3]: 85)

Bagaimana Jika Menghadiri Perayaan Natal?

Adapun seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.

Bagaimana Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?

Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ’santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidha’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha’ Ash Shirathil Mustaqim mengatakan, “Menyerupai orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-

Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.
Allah-lah tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.

Fatwa Kedua: Berkunjung ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka

Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.

Syaikh rahimahullah ditanya: Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?

Beliau rahimahullah menjawab:
Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena Yahudi tersebut dulu ketika kecil pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam. Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.

Fatwa Ketiga: Merayakan Natal Bersama

Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.

Pertanyaan:
Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?

Jawaban:
Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah [5]: 2)

Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.

Ketua Al Lajnah Ad Da’imah: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan:

Pertama, Kita –kaum muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.

Kedua, Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ’selamat natal’ kepada orang Nashrani dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا


“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An Nisa’ [4]: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Oleh karena itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika menyelisihinya.

Ketiga, jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhai oleh Allah Ta’ala.

Keempat, tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.

Kelima, membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.

Keenam, diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.

Demikianlah beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.

Read More ..

Senin, 20 Desember 2010

7 Kelebihan Setan Dibandingkan Dengan Manusia (Renungan)

1. Pantang menyerah
Setan tidak akan pernah menyerah selama keinginannya untuk menggoda manusia belum tercapai. Sedangkan manusia banyak yang mudah menyerah dan malah sering mengeluh.

2. Selalu Berusaha

Setan akan mencari cara apapun untuk menggoda manusia dan agar tujuannya tercapai, selalu kreatif dan penuh ide. Sedangkan manusia ingin enaknya saja, banyak yang malas.

3. Konsisten
Setan dari mulai diciptakan tetap konsisten pada pekerjaannya, tak pernah mengeluh dan berputus asa. Sedangkan manusia banyak yang mengeluhkan pekerjaannya, padahal banyak manusia lain yang masih menganggur.

4. Solidaritas

Sesama setan tidak pernah saling menyakiti, bahkan selalu bekerjasama untuk menggoda manusia. Sedangkan manusia, jangankan peduli terhadap sesama, kebanyakan malah saling bunuh dan menyakiti.

5. Jenius
Setan itu paling pintar mencari cara agar manusia tergoda. Sedangkan manusia banyak yang tidak kreatif, bahkan banyak yang jadi peniru dan plagiat.

6. Tanpa Pamrih

Setan itu bekerja 24 jam tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sedangkan manusia, apapun harus dibayar.

7. Suka Berteman
Setan adalah makhluk yang selalu ingin berteman, berteman agar banyak temannya di neraka kelak. Sedangkan manusia banyak yang lebih memilih mementingkan diri sendiri dan egois.
Read More ..

Rabu, 15 Desember 2010

Keutamaan Bulan Muharram

Muharram adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijriah). Sebelum Rasulullah berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah), penanggalan bulan dibuat mengikuti tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar kepada Islam dari sudut dakwah Rasulullah, ukhuwwah dan syiar Islam itu sendiri.

Pada asasnya, Muharram membawa maksud 'diharamkan' atau 'dipantang', yaitu Allah swt. melarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah.

Peristiwa-Peristiwa Penting pada Bulan Muharram:
1 Muharram - Khalifah Umar bin Khattab mulai membuat penanggalan bulan dalam Hijirah.
10 Muharram - Dinamakan juga hari 'Asyura'. Pada hari itu banyak terjadi peristiwa penting yang mencerminkan kegemilangan dan perjuangan yang gigih dan tabah dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.

Pada 10 Muharram juga telah berlaku:
1. Nabi Adam bertaubat kepada Allah.
2. Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan Allah keluar dari perahunya sesudah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4. Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5. Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa.
6. Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
7. Penglihatan Nabi Yaakub yang kabur disembuhkan Allah.
8. Nabi Ayub disembuhkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
9. Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
10. Laut Merah terbelah dua untuk menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari tentara Firaun.
11. Kesalahan Nabi Daud diampuni Allah.
12. Nabi Sulaiman dikaruniakan Allah kerajaan yang besar.
13. Hari pertama Allah menciptakan alam.
14. Hari Pertama Allah menurunkan rahmat.
15. Hari pertama Allah menurunkan hujan.
16. Allah menjadikan 'Arasy.
17. Allah menjadikan Luh Mahfuz.
18. Allah menjadikan alam.
19. Allah menjadikan Malaikat Jibril.
20. Nabi Isa diangkat ke langit.

Amalan-Amalan Sunat pada Bulan Muharram:

1. Berpuasa.
“Barang siapa berpuasa satu hari dalam bulan Muharram pahalanya seumpama berpuasa 30 tahun.”
“Barang siapa yang berpuasa tiga hari dalam bulan Muharram, yaitu hari Kamis, Jumat dan Sabtu, Allah tulis padanya pahala seperti beribadah selama 2 tahun.”
2. Memperbanyak amal ibadah seperti shalat sunat, dzikir dan sebagainya.
3. Berdoa akhir tahun pada hari terakhir bulan Dzulhijjah selepas Ashar sebanyak 3 kali.
4. Berdoa awal tahun pada 1 Muharram selepas Maghrib sebanyak 3 kali.


Keutamaan yang terkandung di bulan Muharram:

Dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang dimuliakan tersebut lebih dahsyat dari bulan-bulan selainnya. Dan begitu juga sebaliknya bahwa pahala amal shalih begitu besar dibandingkan bulan-bulan lainnya. Firman Allah swt. yg artinya:

“Janganlah kalian mendzalimi diri-diri kalian di dalamnya -bulan-bulan tersebut- (QS.at-Taubah: 36)

Berkata Ibnu Katsir: “Di bulan-bulan yang Allah tetapkan di dalam setahun kemudian Allah khususkan dari bulan-bulan tersebut empat bulan, yang Allah menjadikan sebagai bulan-bulan yang mulia dan mengagungkan kemuliaannya, dan menetapkan perbuatan dosa di dalamnya sangat besar, begitu pula dengan amal shalih pahalanya begitu besar.”

Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, khususnya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (puasa ‘Asyura).

Rasulullah saw bersabda,

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram.” (HR. Muslim)

dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda,

“Puasa ‘Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).

Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari yang lain kecuali hari ini, yaitu ‘Asyura.” (Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).

Pada hari ‘Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya dari kerajaan Fir’aun, sehingga nabi Musa berpuasa sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata; “Ketika Nabi saw datang di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura, kemudian beliau bertanya: “Hari apa ini?” mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah nabi Musa as. Beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian, kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan -para sahabat- agar berpuasa pada hari itu.”

Empat belas perkara sunat dilakukan pada hari Asyura (10 Muharram):

1. Melapangkan masa/belanja anak isteri. Fadilahnya - Allah akan melapangkan hidupnya pada tahun ini.
2. Memuliakan fakir miskin. Fadilahnya - Allah akan melapangkannya dalam kubur nanti.
3. Menahan marah. Fadilahnya - Di akhirat nanti Allah akan memasukkannya ke dalam golongan yang ridha.
4. Menunjukkan orang sesat. Fadilahnya - Allah akan memenuhkan cahaya iman dalam hatinya.
5. Menyapu/mengusap kepala anak yatim. Fadilahnya - Allah akan mengkaruniakan sepohon pokok di surga bagi tiap-tiap rambut yang disapunya.
6. Bersedekah. Fadilahnya - Allah akan menjauhkannya daripada neraka sekadar jauh seekor gagak terbang tak berhenti-henti dari kecil hingga ia mati. Diberi pahala seperti bersedekah kepada semua fakir miskin di dunia ini.
7. Memelihara kehormatan diri. Fadilahnya - Allah akan mengkaruniakan hidupnya senantiasa diterangi cahaya keimanan.
8. Mandi Sunat. Fadilahnya - Tidak sakit (sakit berat) pada tahun itu. Lafaz niat: "Sahaja aku mandi sunat hari Asyura karena Allah Taala."
9. Bercelak. Fadilahnya - Tidak akan sakit mata pada tahun itu.
10. Membaca Surat Al-Ikhlas 1,000X. Fadilahnya - Allah akan memandanginya dengan pandangan rahmat di akhirat nanti.
11. Shalat sunat empat rakaat. Fadilahnya - Allah akan mengampunkan dosanya walau telah berlarutan selama 50 tahun melakukannya. Lafaz niat: "Sahaja aku shalat sunat hari Asyura empat rakaat karena Allah Taala." Pada rakaat pertama dan kedua sesudah membaca surat Al-Fatihah dilanjutkan membaca surat Al-Ikhlas 11 kali.
12. Membaca "hasbunallah wa ni'mal wakiil, ni'mal maula wa ni'man nasiir". Fadilahnya - Tidak mati pada tahun ini.
13. Menjamu orang berbuka puasa. Fadhilah - Diberi pahala seperti memberi sekalian orang Islam berbuka puasa.
14. Puasa. Niat - "Sahaja aku berpuasa esok hari sunat hari Asyura karena Allah Taala." Fadilah - Diberi pahala seribu kali Haji, seribu kali umrah dan seribu kali syahid dan diharamkannya daripada neraka.
Read More ..

Senin, 06 Desember 2010

Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”

Oleh : Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram :

سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله ما حكم التهنئة بالسنة الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟

فأجاب رحمه الله :

إن هنّأك احد فَرُدَّ عليه ولا تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه المسألة لو قال لك إنسان مثلاً نهنئك بهذا العام الجديد قل : هنئك الله بخير وجعله عام خير وبركه ، لكن لا تبتدئ الناس أنت لأنني لا أعلم أنه جاء عن السلف أنهم كانوا يهنئون بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا المحرم أول العام الجديد إلا في خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. انتهى

المصدر إجابة السؤال رقم 835 من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب المفتوح الإصدار الأول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و الإرشاد بعنيزة


Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya :
Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru Islam ?
Bagaimana menjawab ucapan selamat tersebut?

Syaikh menjawab :
Jika seseorang mengucapkan selamat, maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang memulai. Inilah pandangan yang benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya : ”Selamat tahun baru!, anda bisa menjawab “Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan di tahun ini kepada anda.” Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari raya. Bahkan Salaf tidaklah menganggap 1 Muharram sebagai awal tahun baru sampai zaman Umar bin Khattab ra.
Read More ..

Hukum Memperingati Tahun Baru Islam

Oleh : Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.

Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Pertanyaan :

Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ


Jawab :

Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi saw datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliah. Maka Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 – 1 – 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb
Read More ..

Minggu, 05 Desember 2010

Makna Islam dan Iman

Tidak ada keberuntungan bagi umat manusia di dunia dan akhirat kecuali dengan Islam. Kebutuhan mereka terhadapnya melebihi kebutuhan terhadap makanan, minuman, dan udara. Setiap manusia membutuhkan syari'at. Maka, dia berada di antara dua gerakan: gerakan yang menarik kepada perkara yang berguna dan gerakan yang menolak mara bahaya. Islam adalah penerang yang menjelaskan perkara yang bermanfaat dan berbahaya.

Agama Islam ada tiga tingkatan: Islam, Iman dan Ihsan. Dan setiap tingkatan mempunyai rukun.

Perbedaan di antara Islam, Iman dan Ihsan:
Islam dan Iman bila disebutkan secara bersamaan, maka yang dimaksud dengan Islam adalah amal perbuatan yang nampak, yaitu rukun Islam yang lima, dan pengertian iman adalah amal perbuatan yang tidak nampak, yaitu rukun iman yang enam. Dan bila hanya salah satunya (yang disebutkan) maka maksudnya adalah makna dan hukum keduanya.
Ruang lingkup ihsan lebih umum daripada iman, dan iman lebih umum daripada Islam. Ihsan lebih umum dari sisi maknanya, karena ia mengandung makna iman. Seorang hamba tidak akan bisa menuju martabat ihsan kecuali apabila ia telah merealisasikan iman dan ihsan lebih spesifik dari sisi pelakunya, karena ahli ihsan adalah segolongan ahli iman. Maka, setiap muhsin adalah mukmin dan tidak setiap mukmin adalah muhsin.

Iman lebih umum daripada Islam dari maknanya, karena ia mengandung Islam. Maka, seorang hamba tidak akan sampai kepada tingkatan iman kecuali apabila telah merealisasikan Islam dan iman lebih spesifik dari sisi pelakunya, karena ahli iman adalah segolongan dari ahli Islam (muslim), bukan semuanya. Maka, setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin.

Pengertian Islam
Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan taat dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan pelakunya. Barangsiapa yang berserah diri kepada Allah saja, maka dia adalah seorang muslim. Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dan yang lainnya, maka dia adalah seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka dia seorang kafir yang sombong.

Rukun Islam
Rukun Islam ada lima:
Dari Ibnu Umar, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Islam dibangun atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan puasa Ramadhan." Muttafaqun 'Alaih.[1]

Pengertian Syahadah (laailaaha illallah)
Manusia mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan sesembahan-sesembahan selain Dia I, maka ketuhanannya adalah batil dan ibadahnya juga batil. Kalimah syahadah tersebut mengandung nafi (meniadakan/menolak) dan itsbat (menetapkan). (Laa ilaaha), artinya menolak semua yang disembah selain Allah, (Illallah) adalah menetapkan ibadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam menyembah-Nya, seperti tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya.

Pengertian syahadah (Muhammad Rasulullah)
Taat kepada Nabi dalam perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi yang dilarangnya, dan dia tidak menyembah Allah kecuali dengan cara yang disyari'atkannya.

Pengertian Iman
Iman: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan engkau beriman kepada qadar (ketentuan) baik dan buruknya.
Iman adalah ucapan dan perbuatan. Ucapan hati dan lisan, dan amal hati, lisan dan anggota tubuh, iman itu bertambah dengan taat dan berkurang dengan maksiat.

Cabang-cabang Iman

Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Iman terbagi lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan laailaa ha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu termasuk satu cabang dari iman.'" HR. Muslim[2]

Tingkatan-tingkatan Iman
Iman itu memiliki rasa, manis dan hakekat.
1. Adapun rasanya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabda-Nya: "Yang merasakan nikmatnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul." HR. Muslim[3]
2. Adapun manisnya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabdanya: "Ada tiga perkara, jika terdapat dalam diri seseorang, niscaya dia merasakan nikmatnya iman: bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari apapun selain keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api neraka." Muttafaqun 'alaih.
3. Adapun hakekat iman, maka bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hakekat agama. Berdiri tegak memperjuangkan agama, dalam ibadah dan dakwah, berhijrah dan menolong, berjihad dan berinfak.

1, Firman Allah swt:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ {4}


Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfaal :2-4)

2, Firman Allah swt:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ


Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfal: 74)

3, Firman Allah swt:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ


Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujuraan :15)

Seorang hamba tidak bisa mencapai hakekat iman sehingga dia mengetahui bahwa apapun yang menimpanya tidak akan luput darinya dan apapun yang luput darinya pasti tidak akan menimpanya.

Kesempurnaan Iman
Cinta yang sempurna kepada Allah dan Rasul-Nya memberikan konsekuensi adanya sesuatu yang dicintainya. Apabila cinta dan bencinya hanya karena Allah, yang keduanya adalah amal ibadah hati, dan pemberian dan tidak memberinya hanya karena Allah, yang keduanya adalah amal ibadah badan, niscaya hal itu menunjukkan kesempurnaan iman dan kesempurnaan cinta kepada Allah.
Dari Abu Umamah, dari Rasulullah bersabda, "Barang siapa cinta karena Allah, memberi karena Allah, dan melarang karena Allah, niscaya dia telah menyempurnakan iman." HR. Abu Daud[4]

Perkara-Perkara Keimanan
Cinta kepada Rasulullah:
Dari Anas bin Malik, ia berkata, 'Rasulullah bersabda, 'Tidak beriman (sempurna) seseorang di antara kamu sehingga aku lebih dicintainya dari pada ayahnya, anaknya, dan manusia sekalian." Muttafaqun 'alaih.[5]

Mencintai kaum anshar:
Dari Anas, dari Nabi, beliau bersabda, "Tanda iman adalah mencintai kaum anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum anshar." Muttafaqun 'alaih[6]

Mencintai orang-orang yang beriman:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, 'Rasulullah bersabda, 'Kamu tidak bisa masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman sehingga kaum saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang apabila kaum lakukan niscaya kalian saling mencintai, tebarkanlah salam di antara kamu." HR. Muslim[7]

Mencintai saudaranya sesama Islam:
Dari Anas bin Malik, dari Nabi, beliau bersabda, "Tidak beriman (sempurna) seseorang kamu sehingga dia mencintai saudaranya –atau tetangganya- apa yang dia cintai untuknya dirinya." Muttafaqun a'alaih[8]

Mencintai tetangga dan tamu, serta tidak bicara kecuali tentang yang baik:
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya." Muttafaqun 'Alaih.[9]

Memerintahkan yang ma'ruf dan melarang yang mungkar:
Dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah bersabda, 'Barang siapa di antara kalian melihat yang mungkar (yang dilarang agama) hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (hendaklah dia merubahnya) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (hendaklah dia merubahnya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." HR. Muslim.[10]

Nasehat:
Dari Tamim ad-Darimi, bahwasanya Nabi bersabda, " Agama adalah nasehat.' Kami bertanya, 'Untuk siapa?' Beliau menjawab, 'Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan umat Islam secara umum." HR. Muslim. [11]

Iman adalah amalan yang paling utama:
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah ditanya: 'Apakah amalan yang paling utama?' Beliau menjawab, 'Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.' Beliau ditanya lagi, 'Kemudian apa?' Beliau menjawab, 'Jihad di jalan Allah.' Beliau ditanya lagi, 'Kemudian apa?' Beliau menjawab, 'Haji yang mabrur." Muttafaqun 'Alaih.[12]

Iman bertambah dengan taat dan berkurang dengan perbuatan maksiat:
1. Firman Allah swt:
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (QS. Al-Fath :4)

2. Firman Allah swt:
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata :"Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?". Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (QS. At-Taubah :124)

3. Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Tidak berzina orang yang berzina saat berzina sedangkan dia dalam keadaan beriman. Tidak mencuri orang yang mencuri saat dia mencuri sedangkan dia dalam keadaan beriman. Dan tidak meminum arak (orang yang meminumnya) saat dia meminum sedangkan dia dalam keadaan beriman." Muttafaqun 'alaih.[13]

4. Dari Anas bin Malik, dari Nabi, beliau bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang pernah berkata: 'Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat rambut. Akan keluar dari neraka orang yang pernah berkata: 'Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah' dan di hatinya ada kebaikan seberat biji gandum. Dan akan keluar dari neraka orang yang pernah berkata: 'Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji sawi (atom)." Dan dalam satu riwayat: 'iman' di tempat 'kebaikan'.

Amal perbuatan orang kafir yang dilakukannya sebelum Islam:
1. Apabila orang kafir masuk Islam, kemudian ia berbuat baik, maka segala keburukan diampuni untuknya, karena firman Allah swt:
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu". (QS. Al-Anfaal :38)

2. Dan segala amal kebaikan (yang dilakukannya semasa kufur) diberikan pahala kepadanya, berdasarkan riwayat bahwa Hakim bin Hizam bertanya kepada Rasulullah: 'Bagaimana pendapatmu terhadap beberapa perkara (kebaikan) yang pernah saya lakukan di masa jahiliyah, apakah ada balasannya untuk saya?' Rasulullah bersabda kepadanya:'Kamu masuk Islam bersama kebaikan yang pernah kamu lakukan." Muttafaqun 'Alaih.[14]

3. Dan (sebaliknya) barang siapa yang masuk Islam, kemudian melakukan dosa, maka dia disiksa dengan (dosa) pertama dan yang terakhir. Berdasarkan sabda Nabi: 'Barang siapa yang berbuat di masa Islam, niscaya tidak disiksa karena perbuatan buruk yang dia lakukan di masa jahiliyah. Dan barang siapa yang berbuat kejahatan di masa sesudah Islam, niscaya dia disiksa karena (dosa) yang pertama dan terakhir." Muttafaqun 'Alaih.[15]

[1] HR. Bukhari no. 8 dan ini adalah lafazhnya dan Muslim no. 16
[2] HR. Muslim no. 35
[3] HR. Muslim no. 34
[4] Hasan/ HR. Abu Daud no. 4681, Shahih Sunan Abu Daud no. 3915. Lihat, as-Silsilah ash-Shahihah no 380
[5] HR. al-Bukhari 15 dan ini adalah lafaznya, dan Muslim no. 44
[6] HR. al-Bukhari no. 17 dan ini adalah lafazhnya, dan Muslim no 74
[7] HR. Muslim no 54
[8] HR. al-Bukhari no. 14 dan Muslim no. 45, ini adalah lafazhnya.
[9] HR. al-Bukhari no (6018) dan Muslim no. 48 dan ini adalah lafazhnya.
[10] HR. Muslim (49).
[11] HR. Muslim 55.
[12] HR. al-Bukhari no. 26 dan ini adalah lafazhnya, dan Muslim no 83.
[13] HR. al-Bukhari no. 2475 dan Muslim no. 57 dan ini adalah lafazhnya.
[14] HR. al-Bukhari no. 1436 dan Muslim no. 123 dan ini adalah lafazhnya.
[15] HR. al-Bukhari no. 50 dan Muslim 8 dan ini adalah lafazhnya.

Sumber : www.islamhouse.com
Read More ..

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mengenal Hadits

Hadits menurut para ulama ahli Hadits (Muhadditsin) adalah segala ucapan, perbuatan, taqrir (Peneguhan / mendiamkan sebagai tanda membolehkan atau persetujuan), dan sifat-sifat Rasulullah saw. Namun ulama usul fikih mendefinisikan Hadits lebih sempit lagi, yaitu terbatas pada ucapan, perbuatan dan taqrir Rasulullah saw yang berkaitan dengan hukum.

1. Ucapan
Ucapan yaitu semua ucapan Rasulullah saw tentang berbagai bidang seperti aqiqah, akhlak, pendidikan, hukum, muamalah dan sebagainya.

Berikut beberapa contoh hadits yang berupa ucapan Rasulullah saw :
Tentang Akhlak, Rasulullah saw bersabda, "Kekejian dan perbuatan keji sama sekali bukan dari ajaran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik keislamannya adalah yang terbaik budi pekertinya."(HR Tirmidzi)

Tentang Pendidikan, Rasulullah saw bersabda, "Tidak pantas bagi orang bodoh mendiamkan kebodohannya. Juga tidak pantas bagi orang berilmu itu mendiamkan (Maksudnya, tidak mengamalkan / tidak mengajarkan) ilmunya." (HR. Thobroni, Ibnu Sunni, dan Abu Nu'aim)

2. Perbuatan
Perbuatan yakni pengalaman atau penjelasan praktis yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap syariat(Hukum) yang belum jelas cara pelaksanaannya.

Berikut beberapa contoh hadits yang berupa perbuatan Rasulullah saw :
Tentang Menghilangkan najis mugholadoh, Rasulullah saw bersabda, "Apabila bejana (wadah) salah seorang diantara kalian dijilat anjing, maka buanglah isinya, dan cucilah dengan air sebanyak tujuh kali." (HR Bukhori)

Tentang Tayamum, Rasulullah saw bersabda, "Dijadikan bumi itu bagiku tempat shalat dan sebagai pencuci. Dimana saja aku mendapati waktu shalat, maka aku tayamum dan shalat." (HR. Achmad)

3. Taqrir (Peneguhan / mendiamkan sebagai tanda membolehkan atau persetujuan) Rasulullah saw terhadap ucapan atau perbuatan sahabat di hadapan Rasulullah saw.

Contohnya tentang diperbolehkannya makan daging Dhob.
Abdullah bin Abbas mengisahkan, ia dan Khalid bersama sama dengan Rasulullah saw datang ke rumah Maimunah (Salah seorang istri Rasulullah saw). Lalu dihidangkanlah daging Dhob bakar. Ketika Rasulullah saw mengulurkan tangannya hendak menjangkau hidangan tersebut, berkatalah seorang wanita yang juga berada di rumah itu,
"Beritahu Rasulullah saw tentang hidangan yang hendak beliau makan itu."
Maka dikatakan kepada beliau bahwa yang dihidangkan itu daging dhob, seketika beliau menarik tangannya kembali.
"Apakah itu haram ya Rasulullah?" Tanya Abdullah bin Abbas.
"Tidak, namun karena tidak ada di negeriku, maka aku merasa jijik memakannya."
Lalu Khalid mengambil daging itu dan memakannya, sedangkan Rasulullah saw melihatnya saja.(HR Muslim)

Hadits lain menyebutkan,
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah saw ditanya tentang hukum dhabb, maka beliau menjawab, "Aku tidak memakannya namun tidak mengharamkannya." Beliau juga ditanya tentang hukum makan belalang, maka beliau menjawab, "Hukumnya sama." (HR An-Nasa'i)

Hadits lain menyebutkan,
Rasulullah saw bersabda, "Makanlah hewan itu karena hukumnya halal. Namun hewan itu bukan makananku." (HR Muslim)

Untuk Keterangan :
Apa itu Dhabb?
Untuk mengetahui apa itu dhabb, pembaca bisa membuka Kitab Al-Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr Al Jahizh yang terdiri dari delapan jilid atau Tajul ‘Arus karya Murtadha Az Zabidi ataupun kamus arab lainnya. Di dalam dua kitab itu disebutkan tentang apa itu dhabb terlebih lagi pada kitab yang pertama, di sana kita bisa mengetahui banyak tentang dhabb.
Dan disini penulis hanya mencukupkan beberapa keterangan saja , diantaranya:
- Dhabb adalah hewan reptil yang hidup di gurun pasir,
- termasuk dari hewan darat bukan laut atau air,
- termasuk dari jenis hewan darat yang kepalanya seperti ular,
- umurnya panjang,
- sekali bertelur bisa mencapai 60 sampai 70 butir dan telurnya menyerupai telur burung merpati,
- warna kulitnya bisa berubah dikarenakan perubahan cuaca panas,
- tidak meminum air bahkan mencukupkan dirinya dengan keringat,
- ekor adalah senjatanya,
- gigi-giginya tumbuh berbarengan,
- mempunyai 4 kaki yang mana semua telapaknya seperti telapak tangan manusia,
- sebagiannya ada yang mempunyai dua lidah,
- hewan yang dimakan hanya belalang,
- terkadang memakan anaknya sendiri,
- memakan tetumbuhan sejenis rumput,
- menyukai kurma,
- sebagian orang arab merasa jijik dengannya.

Sebagian ulama berpendapat Dhabb tidak sama dengan Biawak. Jadi dari hadits tersebut beberapa ulama berpendapat Rasulullah membolehkan Dhabb (Walaupun Beliau sendiri tidak memakannya), dan mengharamkan biawak (karena ciri-ciri fisik dhabb tidak sama dengan biawak).
Read More ..

Jumat, 08 Oktober 2010

Jalan Menuju Allah

Penulis : Kholis

Banyak orang yang tersesat mencari Allah, karena tidak menyadari keberadaan Allah yang sangat dekat dengan manusia. Allah sesungguhnya tidak perlu dicari. Hanya sesuatu yang pernah hilang yang pantas dicari, sementara Allah selalu ada dimana-mana, dan tidak pernah hilang. Allah tidak pernah tidur dan selalu mengawasi gerak-gerik kita. Tidak ada satu pun yang luput dari-Nya, Karena, Ia yang meliputi langit dan bumi beserta isinya.

Maha suci Allah Pemberi Rahmat Alam Semesta.
Tak perlu jalan yang terjal dan sulit untuk mengenal-Nya. Untuk mengenal Allah tidak perlu rumit-rumit, tidak perlu pusing-pusing. Tidak menjadi jaminan orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, sudah mengenal Allah. Akal tidak mampu membuka rahasia Allah. Hanya hati orang mukmin yang mampu merasakan dan mewadahi Asmaul Husna.

Bacalah Al-Qur'an dengan hati penuh keimanan. Mushaf suci itu adalah kalam Ilahi yang tidak cukup dipahami dengan akal. Jangan sampai terjebak kita hanya menjadi pakar Al-Qur'an, tapi sesungguhnya tidak memahami hakekatnya. Hati pun tak pernah bergetar kala dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Jiwa membeku tak merasakan getaran kehadiran Allah. Dan, hati pun menjadi buta dengan petunjuk-Nya.

Oleh karena itu, saatnya membuka jiwa dan mengasah hati agar merasakan kehadiran Allah. Namun, kita sering terhijab dengan pikiran dan perasaan kita sendiri. Jalan menuju Allah pun akhirnya terhadang oleh tubuh kita yang sering dipenuhi nafsu amarah. Jika kita hanya dibalut dengan pikiran dan perasaan, maka kita tak akan pernah terhubung pada Allah Yang Maha Kuasa.

Namun, jika kita berdzikir dengan asma-asma Allah, lisan kita, pikiran kita dan perasaan kita akan bersatu menuju Allah. Meski kesengsaraan dan kepayahan menghimpit kita, tak ada satu pun yang mampu menggoyahkan tekad jika hati sudah tertanam aqidah dan jiwa sudah menjawab panggilan-Nya.

Saat Nabi Muhammad mengajak para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah, bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Jarak tempuh dari kota Mekah sampai ke Madinah, pada saat itu hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau naik unta. Nabi bersama rombongan membutuhkan waktu yang lama, berbulan-bulan untuk tiba di Madinah, yang saat itu bernama Yatsrib. Tak banyak umat Islam yang siap menempuh medan yang berat, melewati padang pasir yang gersang dan berbahaya, apalagi dengan bekal makanan dan minuman yang terbatas. Inilah ujian yang berat bagi umat muslim. Apakah umat Islam kalah dalam ujian ini? Apakah umat muslim memilih mundur dari tantangan itu?

Hanya kaum muslim yang memiliki iman yang kuat, yang berani menempuh perjalanan sulit itu. Nabi tidak membutuhkan umat yang banyak dalam peristiwa hijrah itu. Nabi cukup memiliki sedikit sahabat yang benar-benar teruji imannya. Nabi tidak membutuhkan umatnya, yang berhijrah karena harta atau wanita. Karena, mereka yang terpilih adalah yang melakukan hijrah karena Allah semata.

Iman adalah cahaya yang mampu menembus sekat-sekat. Daya vibrasinya kuat, hingga menggetarkan alam semesta. Inilah awal mula Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, karena modal iman yang kuat. Islam berkembang pesat hingga saat ini setelah Nabi menanamkan pondasi aqidah, yang dipegang teguh oleh para sahabat, para tabi'in serta umatnya hingga zaman ini.

Saat ini kita sudah mengucapkan syahadat sebagai sebuah kesaksian spiritual akan keesaan Allah, dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Kita pun mengaku sudah beriman. Namun, kita sering merasakan hampa dalam kehidupan ini. Kita masih sering sedih, bingung, takut dan pesimis. Kita pun tak merasakan kehadiran Allah, karena pikiran dan perasaan kita lebih banyak terikat dalam kehidupan duniawi.

Kita merasakan kesenangan karena sensasi kesenangan duniawi baik berupa harta, tahta, istri atau anak-anak kita. Sebaliknya, kita pun menderita karena keinginan duniawi kita tak terpenuhi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering tertambat dengan istri kita, anak-anak kita, atau harta kita. Di sanalah letak persoalannya yang membuat kita sedih atau senang. Dalam sebuah hadist Nabi bersabda, “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka bersiaplah untuk disakiti olehnya, barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan diperbudaknya.”

Keimanan kita salah satunya ditentukan keimanan terhadap takdir baik dan takdir buruk yang menimpa kita. Iman kita sering ambruk karena gagal menerima takdir buruk dari Allah. Setiap orang baik beriman maupun tidak beriman akan menghadapi takdir Allah, namun ada perbedaan yang mendasar. Bagi orang beriman, semua persoalan akan dikembalikan pada Allah. Semuanya milik Allah dan akan kembali pada Allah.

Semua orang baik yang beriman maupun tidak beriman akan mendapat persoalan, atau kesulitan hidup. Tidak benar ada keyakinan bahwa hanya orang yang beriman yang mendapat ujian. Kita, orang-orang yang imannya masih tipis, tetap akan dihadang oleh takdir Allah yang mungkin rasanya pahit atau rasanya enak. Tapi ada perbedaan bagi orang yang beriman dan tidak beriman dalam menghadapi takdir Allah.

Orang yang beriman akan menyadari rahasia di balik takdir yang diberikan oleh Allah. Karena, ia selalu menghadap dan berkomunikasi dengan Allah, melalui shalatnya yang khusyu'.

Kekhusyu'an akan membawa kita pada tahapan ihsan, merasakan bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya. Bahkan, ia akan makin merasakan bahwa semua penglihatan, pendengaran, dan geraknya adalah Allah.

Tingkatan iman seperti ini tak akan tercapai jika kita masih terhalang oleh dosa kita, akal kita dan kebodohan kita. Allah tidak akan bisa ditemui jika hati kita kotor. Allah tidak akan bisa digapai dengan akal dan kepintaran kita, karena Allah Zat Yang Maha Agung. Begitu pula, kebodohan kita membuat kita miskin ilmu, untuk memahami hakekat menuju Allah.

Nabi mengajarkan pada umatnya sebuah jalan untuk menuju Allah, yaitu shalat. Seringkali kita melakukan shalat, tetapi terlalu sibuk dengan gerakan dan bacaannya. Kita tidak mampu memisahkan mana tubuh kita, mana rohani kita.

Tubuh kita cenderung pada tanah, karena memang terbuat dari tanah. Maka, tidak heran kita cenderung mencintai sesuatu yang berasal dari tanah, seperti anak-anak kita, istri kita, perhiasan dan binatang ternak.

Sementara, rohani kita cenderung naik ke atas menuju Pemiliknya, yaitu Zat Yang Tidak bisa diserupakan dengan makhluk-Nya. Dengan shalat, rohani kita didorong dengan kesadaran untuk meninggalkan tubuh dan mencapai orbit Ilahi. Dirikanlah shalat dengan kesadaran jiwa, yang memiliki potensi ruh, karena inilah yang dipanggil Allah dan dimasukkan ke golongan hamba-hamba-Nya yang diridhai-Nya.
Read More ..

Sabtu, 19 Juni 2010

Meraih Keutamaan Tanpa Melupakan Kewajiban

Ada beberapa perkara yang sisi lahiriah-nya adalah keutamaan, sedangkan sisi batiniah-nya adalah kewajiban:
1. Membaca Al Qur'an adalah keutamaan, mengamalkan isinya adalah kewajiban.
2. Bergaul dengan orang-orang shalih adalah keutamaan, sementara meneladani keshalihan mereka adalah kewajiban.
3. Ziarah kubur adalah keutamaan, sementara mempersiapkan bekal (dengan memperbanyak amal-amal shalih) sebelum masuk ke alam kubur adalah kewajiban. Demikian menurut Sayidina Utsman bin Affan ra. dalam suatu riwayat, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam sebuah kitabnya.

Melalui pesan Utsman ra. di atas setidaknya kita memahami:
- Penting membaca Alquran, tetapi lebih penting lagi mengamalkan isinya.
- Penting untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih, namun lebih penting lagi meneladani keshalihan mereka.
- Penting untuk melakukan ziarah kubur, tetapi lebih penting lagi adalah mempersiapkan amal shalih untuk bekal di alam kubur.

Alasannya jelas. Bagaimanapun kewajiban harus lebih didahulukan daripada keutamaan. Sebab, tentu tak ada keutamaan jika yang wajib ditinggalkan, meski yang sunnah dikerjakan. Bagi seorang Muslim, membaca Al Qur'an, misalnya, adalah sunnah dan keutamaan. Namun, jika isi Al Qur'an yang ia baca tak diamalkan, tentu membacanya tidak lagi menjadi keutamaan bagi dirinya; sekadar menjadi ‘hiasan’, tetapi tak mendatangkan manfaat atau keberkahan. Sebab, bukankah Al Qur'an Allah turun agar dijadikan pedoman, bukan sekadar dijadikan bacaan? Allah swt. bahkan telah mencela orang-orang yang mengabaikan isi Al Qur'an (Lihat: QS al-Furqan [25]: 30). Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategorikan sebagai tindakan mengabaikan Al Qur'an. Diantaranya adalah tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangannya (Ibn Katsir, I/1335); tidak mau berhukum dengannya (Wahbah Zuhaili, IXX/61).

Saat ini banyak Muslim yang sering mengutamakan hal-hal yang sunnah, seraya mengabaikan perkara-perkara yang wajib. Mereka lebih menomorsatukan hal-hal yang sesungguhnya hanya merupakan keutamaan, sementara mereka menomorduakan hal-hal yang sesungguhnya merupakan kewajiban.

Mungkin kita pernah atau malah sering menyaksikan pemandangan berikut:
Seseorang rajin menghadiri majelis-majelis dzikir, tetapi dalam bekerja kepada orang lain ia sering mangkir;
Seseorang banyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah, namun banyak pula ia melakukan ghibah;
Seseorang rajin menunaikan shalat-shalat sunnah, tetapi rajin pula melakukan perkara-perkara bid’ah;
Seseorang biasa berpuasa Senin-Kamis, tetapi biasa pula bersikap pragmatis (tak peduli halal-haram);
Seseorang rajin bersedekah, namun tak peduli nafkahnya ia peroleh dari jalan yang salah;
Seseorang berkali-kali melakukan ibadah umrah, tetapi tak sekalipun ia mau saat diajak berdakwah;
Seseorang rajin membaca Al Qur'an, namun perintah dan larangan yang ada di dalamnya sering ia abaikan;
Seseorang mengklaim cinta dan banyak bershalawat kepada Rasulullah saw. namun terhadap nasib Islam yang beliau bawa dan masa depan umatnya ia tak peduli; Seseorang biasa menyantuni fakir-miskin dan kaum dhuafa, namun biasa pula ia makan dari uang hasil riba;
Seseorang bergelar haji bahkan ke Mekkah lebih dari sekali tetapi terhadap tetangganya yang miskin sering tak peduli;
Seseorang selalu berusaha menjaga citra dan kehormatan diri, namun auratnya ia pamerkan ke sana-kemari dan perilakunya tak terpuji;
Seseorang menjadi donatur kegiatan keagamaan/sosial di sana-sini, namun hartanya ternyata hasil korupsi. Demikian seterusnya hingga kita sering menyaksikan hal-hal yang saling berkontradiksi.

Padahal Allah swt pun jelas telah mengutamakan kewajiban daripada perkara-perkara yang sunnah. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah swt telah berfirman, “Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Seorang hamba terus-menerus bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya” (HR al-Bukhari).

Melalui hadits qudsi ini, jelas Allah swt menghendaki setiap Mukmin bertaqarrub kepada-Nya: pertama-tama dengan melaksanakan semua kewajiban, baik berupa fardlu ‘ain maupun fardlu kifayah; kemudian melengkapinya dengan menunaikan amalan-amalan sunnah. Dengan itu, keutamaan bisa kita raih, dan kewajiban pun bisa kita tunaikan. Dengan itu pula, akan sempurnalah taqarrub kita kepada-Nya.
Read More ..

Minggu, 30 Mei 2010

Jangan Mempersulit Sesama Muslim

Penulis: Akhwat Tangguh

Berawal dari hal yang sangat sederhana, hanya karena mempersulit, berbelit-belit, atau mungkin hanya iseng untuk mengerjai seseorang, teman atau kerabat, akan tetapi sadarilah, hal yang diakibatkan oleh ulah kita tersebut insya Allah dapat mengakibatkan malapetaka yang amat panjang atau pedih atau bencana yang tak terkira kepada kita.

Bagaimana bisa, seseorang yang mengaku melakukan segala sesuatu untuk mencari ridha Allah swt., menjalani hidup ini dengan ikhlas, bukan muslim yang abal-abal (Islam ktp), tetapi tingkah laku dan perilakunya tidak menggambarkan wajah islam yang hadir di dalam kehidupannya. Memang dari segi moral tidak melakukan dosa-dosa besar, atau perbuatan yang terlarang dalam Islam, tetapi memiliki kebiasaan untuk mempersulit siapa saja yang ditemuinya.

QS. al-Lail : 92
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
2. dan siang apabila terang benderang,
3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
4. sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
7. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
8. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
9. serta mendustakan pahala yang terbaik,
10. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
12. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk,
13. dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.
14. Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.
15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
17. Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
19. padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
20. tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
21. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.

Sumber : http://e-quran.sourceforge.net/chapter/092.html

Dari terjemahan surat al-Lail di atas minimal kita diingatkan, untuk tidak hanya mencegah kemungkaran, akan tetapi kita juga harus berbuat baik terhadap sesama. Hubungannya bukan antara manusia dengan Tuhannya secara langsung, melainkan hubungan antar sesama manusia, manusia dengan manusia, kita dengan saudara kita, kita dengan teman kita, dengan tetangga kita, dengan orang lain yang sering berhubungan dengan kita.

Permasalahannya bila ada orang yang kita persulit merasa terdzalimi, buntutnya insya Allah tidak enak. Entah akan membuat dia memaki-maki (memancing orang lain emosi dan berbuat dosa kecil akibat ulah kita), sakit hati, benci dan memutuskan tali silaturahmi. Lebih berat lagi bila orang yang merasa terdzalimi tersebut mendoakan yang jelek-jelek untuk kita. Mungkin bila yang mendoakan cuma satu orang tidak masalah, tetapi bila lebih 5 orang, 10 orang atau bahkan 100 orang lebih, Subhanallah...
Doa orang yang terdzalimi atau doa orang yang teraniaya adalah doa yang mudah diijabah oleh Allah swt.

Hal itu terjadi tanpa kita ketahui. Bagaimana nasib kita kalau semua orang mendoakan yang jelek-jelek untuk kita, niscaya hidup kita ke depan akan runyam, banyak masalah yang tidak ketahuan ujung pangkalnya dan tidak tahu kapan berakhirnya.

[an-Nisa 4:85] Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Read More ..

Sabtu, 22 Mei 2010

Kesedihan Dunia

Oleh : Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim

‘Ali bin Abi Thalib ra. menulis surat kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. yang isinya, “Amma ba’du. Sesungguhnya seseorang merasa rugi dengan sesuatu yang hilang darinya, padahal hal itu tidak akan bisa ia dapatkan dan merasa bahagia dengan mendapatkan sesuatu yang pasti ia dapatkan. Maka berbahagialah dengan apa-apa yang aku ucapkan dari urusan akhirat dan menyesallah dari sesuatu yang hilang darimu akan urusan akhirat, janganlah terlalu bahagia dengan apa yang engkau dapatkan dari urusan dunia. Dan jadikanlah semua pikiranmu tertuju kepada sesuatu yang terjadi setelah kematian.”

Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang,
dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.

Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun,
setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [1]

Sebab kegalauan hidup itu ada lima macam dan seyogyanya seseorang merasakan kegalauan karena kelima macam tersebut:

Pertama : Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.

Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.

Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.

Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?

Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?

Siapa yang merasa galau dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [2]

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapa jarak antara kalian dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian terus mengejarnya.” [3]

Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada. Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka, yang dihancurkan oleh angin dan hujan.

Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini, berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan. Sampai kapan engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah dekat dan sampai kapan bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.

Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang engkau ingat.

Abu Dzarr al-Ghifari ra. berdiri di dekat Ka’bah dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat.” Lalu yang lainnya berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan perbekalan dan segala sesuatu yang dibutuhkannya?” Mereka semua menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang kalian butuhkan!” Mereka semua bertanya, “Apa yang kami butuhkan itu?” Beliau berkata, “Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah shalat dua raka’at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis: satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham lainnya engkau persembahkan untuk akhirat.”

Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan per-hiasannya,
apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.

Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita, beliau rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara me-reka hidup selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik, ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia bagi mereka.”[4]

Di manakah kita di antara mereka?!
Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan,
Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.
Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam,
darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).

Kita mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.

Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda’ sebagaimana yang digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, “Aku mencintai kefakiran karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit sebagai penghapus atas dosa-dosaku.”[5]

Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya,
sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.
Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai dengan takdir Allah.

Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak kepadanya
dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya dengan kelalaian.
Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan menggulingkan,
niscaya elang akan terbang dengan membawa makanan burung pipit. [6]

Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.

Rasulullah saw. bersabda:
“Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit tadi. Allah swt. berfirman, ‘Aku sebenarnya lebih berhak untuk melakukannya, maka ampunilah ia.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling sulit adalah tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara’ dalam keadaan menyendiri dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang yang ditakuti.”[7]

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Esok hari setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu, maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”[8]

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir. Dipublikasikan oleh www.almanhaj.or.id]

Footnotes
[1]. Irsyaadil ‘Ibaad, hal. 120.
[2]. Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).
[3]. Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).
[4]. Al-Ihyaa’ (IV/239).
[5]. Az-Zuhd, hal. 217.
[6]. Taariikhul Khulafaa’, hal. 171.
[7]. Shifatush Shafwah (II/251).
[8]. Hilyatul Auliyaa’, hal. 144
Read More ..

Sabtu, 08 Mei 2010

Dua Syarat Diterimanya Ibadah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:
1. Ikhlas karena Allah.
2. Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad saw.

Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak. Berikut bukti-bukti dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Perkataan Sahabat.

Dalil Al Qur’an

Dalil dari dua syarat di atas disebutkan sekaligus dalam firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya".” (QS. Al Kahfi: 110)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mengikuti syariat Allah (mengikuti petunjuk Rasulullah saw). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw.”[1]

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan shawab (mengikuti ajaran Rasulullah saw).”

Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mengikuti ajaran Rasulullah saw, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran Rasulullah saw. namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan shawab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan shawab apabila mengikuti ajaran Rasulullah saw.”[2]

Dalil dari Al Hadits
Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits. Hadits pertama dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah saw bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita)”.[3]

Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]

Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhahir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”[6]

Di kitab yang sama, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Suatu amalan tidak akan sempurna (tidak akan diterima) kecuali terpenuhi dua hal:

1. Amalan tersebut secara lahiriyah (zhahir) mengikuti ajaran Rasulullah saw. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.’
2. Amalan tersebut secara batininiyah diniatkan ikhlas mengharapkan wajah Allah. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Umar ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat’.”[7]

Perkataan Sahabat
Para sahabat pun memiliki pemahaman bahwa ibadah semata-mata bukan hanya dengan niat ikhlas, namun juga harus ada tuntunan dari Rasulullah saw. Sebagai dalilnya, berikut dua atsar dari sahabat.

Pertama: Perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar.

Abdullah bin ‘Umar ra. berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”[8]

Kedua: Kisah ‘Abdullah bin Mas’ud.

Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud ra. ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian Beliau (Rasulullah saw) juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]

Lihatlah kedua sahabat ini, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, meyakini bahwa niat baik semata-mata tidak cukup. Namun ibadah bisa diterima di sisi Allah juga harus mengikuti teladan Rasulullah saw.

Dari dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa ibadah baik itu shalat, puasa, dan dzikir semuanya haruslah memenuhi dua syarat diterimanya ibadah yaitu ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw.

Sehingga tidaklah tepat perkataan sebagian orang ketika dikritik mengenai ibadah atau amalan yang ia lakukan, lantas ia mengatakan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing”. Ingatlah, tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw., Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

Sebab-sebab Munculnya Amalan Tanpa Tuntunan
1. Tidak memahami dalil dengan benar.
2. Tidak mengetahui tujuan syari’at.
3. Menganggap suatu amalan baik dengan akal semata.
4. Mengikuti hawa nafsu semata ketika beramal.
5. Berbicara tentang agama tanpa ilmu dan dalil.
6. Tidak mengetahui manakah hadits shahih dan dha’if (lemah), mana yang bisa diterima dan tidak.
7. Mengikuti ayat-ayat dan hadits yang masih samar.
8. Memutuskan hukum dari suatu amalan dengan cara yang keliru, tanpa petunjuk dari syari’at.
9. Bersikap ghuluw (ekstrim) terhadap orang tertentu. Jadi apapun yang dikatakan panutannya (selain Rasulullah saw), ia pun ikuti walaupun itu keliru dan menyelisih dalil.[10]

Inilah di antara sebab munculnya berbagai macam amalan tanpa tuntunan (baca: bid’ah) di sekitar kita.

nb:
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.

[2] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rojab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.

[3] HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.

[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.

[5] HR. Muslim no. 1718.

[6] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77.

[7] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 20.

[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam Al Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, 2/212/2 dan Al Lalika’i dalam As Sunnah (1/21/1) secara mauquf (sampai pada sahabat) dengan sanad yang shahih. Lihat Ahkamul Janaiz wa Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 285, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1412 H.

[9] HR. Ad Darimi no. 204 (1/79). Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayyid. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (5/11) mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[10] Disarikan dari Al Bida’ Al Hauliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiri, hal. 37-68, Darul Fadhilah, cetakan pertama, 1421 H.
Read More ..
Edited by EXz
Visit Original Post Islamic2 Template