Kamis, 02 Mei 2013

Niat, Sebuah Penentu Amal Ibadah

Menurut Imam Baidlawi, niat adalah ibarat sebuah gejolak hati untuk mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan tujuan, baik dalam rangka ingin mencapai suatu manfaat atau menghindari suatu mudharat pada masa sekarang atau yang akan datang. Adapun menurut syara’, niat bisa diartikan sebagai sebuah keinginan untuk melakukan sesuatu dan mendapat ridha Allah.

Dari pengertian di atas, dapat diambil contoh, saat seseorang melangkah pergi ke masjid untuk shalat dan memang dalam hatinya ingin melakukan shalat, maka pada saat itulah orang tersebut bisa dikatakan sudah berniat shalat.

Niat sesungguhnya adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan lisan. Karenanya, yang tahu persis niat seseorang hanyalah dirinya sendiri dan Allah. Niat tidak bisa diukur dari ucapan lisan. Ucapan dalam bentuk kata-kata hanyalah sekadar sebagai ikrar, tidak lebih dari itu. Begitu pula niat tidak bisa diukur dari bentuk formalitas suatu pekerjaan.

Niat terletak dalam kehendak hati, bukan dalam wujud tindakan nyata. Niat tersembunyi di dalam qalbu, bukan terletak pada yang nampak mata. Jadi, niat termasuk sesuatu yang rahasia dimana hanya Allah dan pemilik niat itu sendiri yang mengetahuinya.

Dalam perspektif ilmu fikih, niat sangat berpengaruh dalam menentukan status amal perbuatan. Pengaruh niat terhadap status amal perbuatan setidaknya terlihat pada beberapa hal berikut ini :

1. Niat menjadi Syarat Mutlak Ibadah
Firman Allah swt. dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 :

“Dan mereka tidak diperintah melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah:5)

Kemudian dalam surat Az-Zumar ayat 2 :
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar:2)

Berdasarkan pada kedua ayat tersebut, jumhur ulama menetapkan bahwa setiap amal ibadah harus didasari dengan niat ikhlas hanya untuk mencari keridhaan Allah. Ibadah tidak akan diterima Allah jika tidak dilandasi dengan niat ikhlas tersebut.

Hal ini semakin diperjelas dengan hadits berikut yang artinya :
“Sesungguhnya setiap amal itu harus dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya (berniat) karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrah tersebut (dicatat) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya (berniat) karena dunia yang akan diperoleh atau karena seorang perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan (mendapat) apa yang dia kerjakan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa niat adalah wajib menjadi landasan dari setiap amal, dan amal tak akan sah jika tidak ada niatnya. Dalam ibadah mahdhah, misalnya shalat atau puasa, niat menjadi rukun ibadah. Karena menjadi rukun, maka ibadah tidak akan sah dan dianggap batal jika rukun tersebut tidak terpenuhi. Dari sini, maka niat sesungguhnya menjadi penentu sebuah ibadah. Diterima atau ditolaknya ibadah tergantung apakah dalam ibadah tersebut ada niat atau tidak.

2. Niat yang Salah akan Merusak Nilai Ibadah
Niat sesungguhnya merupakan ruh dari amal. Amal sendiri sebenarnya akan mengikuti niat. Amal perbuatan akan menjadi benar jika niatnya juga benar. Sebaliknya, amal pun akan menjadi rusak jika niatnya salah. Niat yang salah adalah kehendak hati yang bukan ditujukan kepada Allah.

Apapun jenis amal ibadahnya, baik yang mahdhah ataupun mu’amalah, akan menjadi rusak dan tidak berarti jika niat saat melakukannya salah. Shat yang dilakukan seseorang akan rusak nilainya dan bahkan menjadi tidak berarti jika niatnya bukan shalat kepada Allah. Contoh lain, misalnya seorang wanita sengaja tidak makan seharian dari masuknya waktu subuh hingga maghrib dengan niat untuk diet, maka lapar dan dahaganya tidak berpahala puasa, sebab niatnya bukan untuk puasa, meski antara diet dengan puasa sama-sama lapar. Contoh lainnya, saat seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan niat agar ia mendapatkan simpati dari orang yang diberi, maka perbuatan itu tidak bernilai sedekah/ibadah, meskipun harusnya perbuatan itu termasuk sedekah/ibadah.

3. Niat bisa Menjadikan Hal yang Mubah Bernilai Ibadah
Sesungguhnya semua hal yang mubah bisa saja bernilai ibadah jika memang diniati untuk beribadah. Dengan demikian segala rutinitas kita bisa saja memperoleh ibadah jika memang diniati untuk melakukan segala rutinitas itu karena Allah.

Sebagai contoh, bekerja bisa bernilai ibadah jika diniati untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Belajar, membaca dan menonton pengajian agama di TV juga akan bernilai ibadah jika diniati untuk mencari ilmu. Bahkan, tersenyum kepada orang lain juga akan bernilai ibadah jika diniat untuk menyenangkan hati orang lain. Kesimpulannya, semua perbuatan manusia bisa bernilai ibadah jika diniati untuk ibadah.

Dari ketiga pengaruh tersebut, bisa diketahui bahwa niat memang pengaruh yang sangat besar terhadap amal kebaikan, bahkan bisa dikatakan unsur niatnya yang menjadi penentu utama dalam setiap amal.
Namun bukan berarti semua amal perbuatan serta-merta bisa diniati ibadah. Tidak semua tindakan bisa dijadikan sebagai sarana ibadah meski diniati sebagai ibadah. Yang jelas, semua amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia bisa saja bernilai ibadah jika amal perbuatan itu jelas-jelas tidak melanggar tata aturan Allah.

Jadi, semua hal atau perbuatan yang diharamkan oleh Allah tidak bisa dilakukan dengan alasan niat ibadah. Jadi bohong ceritanya jika meminum khamr atau mengonsumsi narkoba diniati agar tubuh menjadi vit sehingga bisa melakukan ibadah dengan giat. Demikian juga dengan memberi uang kepada seseorang dengan niat untuk sedekah, padahal uang yang diberikan itu didapatkan dengan cara yang haram.
Kita bisa menjadikan sebuah perbuatan dalam bentuk apapun sebagai ibadah dengan syarat perbuatan itu bukan termasuk hal yang diharamkan oleh Allah. Jika perbuatan tersebut nyata-nyata dilarang agama, seberapapun murninya niat tersebut tetap saja tidak akan berubah status haramnya menjadi halal atau sarana ibadah.

Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus sesuatu yang buruk dengan sesuatu yang buruk pula, akan tetapi Allah akan menghapus sesuatu yang buruk itu dengan sesuatu yang baik. Sesungguhnya yang kotor itu tidak akan bisa menghapus yang kotor.” (HR. Ahmad)
Read More ..

Rabu, 01 Mei 2013

Memahami Kembali Makna Ibadah

Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah adalah semua hal yang dicintai dan diridhai Allah swt., menyangkut ucapan maupun perbuatan, baik yang nampak maupun yang tidak nampak secara kasat mata. Jadi selagi hal tersebut merupakan hal yang dicintai dan diridhai Allah, maka semuanya bisa disebut ibadah. Atau ibadah adalah semua perbuatan baik yang niatnya adalah mencari ridha Allah swt.

Jadi, jangan mengartikan ibadah hanya dalam bentuk shalat, puasa, zakat, haji, berdzikir dan membaca Al Qur’an saja, tetapi lebih dari itu. Belajar atau sekolah untuk mencari ilmu, bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, menengok orang sakit, bahkan menyingkirkan duri di tengah jalan pun bisa disebut ibadah. Jadi pengertian ibadah itu sangat luas, seluas wilayah perbuatan baik yang bisa dilakukan oleh manusia dalam hidupnya.

Dari pengertian ini maka jenis ibadah sesungguhnya tidak bisa dihitung berapa banyaknya. Jika perbuatan baik itu bisa disebut ibadah, maka jumlah ibadah itu sendiri adalah sejumlah perbuatan baik yang dikenal manusia. Namun, para ulama membagi ibadah itu dalam dua jenis, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah mu’amalah.

1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah. Ibadah jenis ini biasanya berupa penyembahan seorang hamba kepada Allah. Banyak ulama menyatakan bahwa yang termasuk ibadah jenis ini adalah shalat, zakat, haji, dzikir, dan puasa.

2. Ibadah Mu’amalah
Ibadah mu’amalah adalah ibadah yang mencakup hubungan antar-manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah. Ibadah jenis ini lebih bersifat social, yaitu berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain.

Dibandingkan dengan ibadah mahdhah, ibadah mu’amalah mempunyai variasi bentuk yang lebih banyak. Demikian pula dengan tata aturannya. Ibadah mahdhah mempunyai tata aturan yang sudah mutlak, sementara itu ibadah mu’amalah tidak mempunyai tata aturan yang mengikat sehingga semua amal perbuatan manusia yang jelas-jelas tidak menyimpang dari larangan agama, semuanya bisa disebut ibadah, jika perbuatan itu termasuk perbuatan baik serta diorientasikan kepada Allah.

Jadi ada dua kategori yang harus terpenuhi dalam amal perbuatan hingga ia bisa disebut sebagai ibadah mu’amalah, pertama, perbuatan itu tergolong sebagai perbuatan baik yang jelas-jelas tidak melanggar aturan agama atau tidak termasuk sesuatu yang diharamkan, kedua, perbuatan itu orientasinya niat karena Allah atau diniati beribadah kepada Allah.

Dua kategori di atas adalah persyaratan agar amal perbuatan bisa bernilai ibadah. Jika salah satu dari persyaratan itu tidak terpenuhi, maka amal perbuatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah mu’amalah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan buruk yang melanggar aturan Allah atau jelas-jelas diharamkan, tidak bisa disebut ibadah meskipun diniati untuk beribadah. Demikian juga sebaliknya. Tindakan-tindakan tertentu yang tergolong sebagai amal baik tidak bisa bernilai jika dilakukan bukan untuk berniat beribadah. Sebagai contoh, misalnya seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin membagi-bagikan sejumlah uang kepada orang banyak dengan maksud agar ia dipilih dan terpilih, maka pemberian itu bukan termasuk sedekah yang bernilai ibadah, sebab tujuan dari pemberian tersebut bukan untuk Allah melainkan untuk menarik simpati. Ini adalah salah satu contoh kecil dari sekian banyaknya amal kebajikan yang tidak bernilai ibadah sebab tidak ada unsur niat beribadah di dalamnya.

Jadi, yang dibutuhkan agar amal kebajikan itu bisa bernilai ibadah adalah niat. Niat untuk ibadah kepada Allah tentunya. Yang dimaksud ibadah disini adalah niat mempersembahkan amal kebajikan itu untuk Allah, bukan untuk yang lain. Jadi, meski seseorang nyata-nyata melaksanakan ritual ibadah, misalnya shalat dan puasa, namun jika niatnya tidak ikhlas karena Allah, maka hal itu menjadi percuma. Ibadah model ini tidak akan diterima Allah. Naudzubillahi min dzalik.

Kesimpulannya, ibadah itu intinya pada niatnya, dan yang dibutuhkan dalam niat itu hanya satu, yakni ikhlas. Ibadah dalam bentuk apapun, sekecil atau sebesar apapun, semua itu baru bisa diterima Allah dan bisa dikategorikan sebagai ibadah jika dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah.

Read More ..
Edited by EXz
Visit Original Post Islamic2 Template