Ada beberapa perkara yang sisi lahiriah-nya adalah keutamaan, sedangkan sisi batiniah-nya adalah kewajiban:
1. Membaca Al Qur'an adalah keutamaan, mengamalkan isinya adalah kewajiban.
2. Bergaul dengan orang-orang shalih adalah keutamaan, sementara meneladani keshalihan mereka adalah kewajiban.
3. Ziarah kubur adalah keutamaan, sementara mempersiapkan bekal (dengan memperbanyak amal-amal shalih) sebelum masuk ke alam kubur adalah kewajiban. Demikian menurut Sayidina Utsman bin Affan ra. dalam suatu riwayat, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam sebuah kitabnya.
Melalui pesan Utsman ra. di atas setidaknya kita memahami:
- Penting membaca Alquran, tetapi lebih penting lagi mengamalkan isinya.
- Penting untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih, namun lebih penting lagi meneladani keshalihan mereka.
- Penting untuk melakukan ziarah kubur, tetapi lebih penting lagi adalah mempersiapkan amal shalih untuk bekal di alam kubur.
Alasannya jelas. Bagaimanapun kewajiban harus lebih didahulukan daripada keutamaan. Sebab, tentu tak ada keutamaan jika yang wajib ditinggalkan, meski yang sunnah dikerjakan. Bagi seorang Muslim, membaca Al Qur'an, misalnya, adalah sunnah dan keutamaan. Namun, jika isi Al Qur'an yang ia baca tak diamalkan, tentu membacanya tidak lagi menjadi keutamaan bagi dirinya; sekadar menjadi ‘hiasan’, tetapi tak mendatangkan manfaat atau keberkahan. Sebab, bukankah Al Qur'an Allah turun agar dijadikan pedoman, bukan sekadar dijadikan bacaan? Allah swt. bahkan telah mencela orang-orang yang mengabaikan isi Al Qur'an (Lihat: QS al-Furqan [25]: 30). Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategorikan sebagai tindakan mengabaikan Al Qur'an. Diantaranya adalah tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangannya (Ibn Katsir, I/1335); tidak mau berhukum dengannya (Wahbah Zuhaili, IXX/61).
Saat ini banyak Muslim yang sering mengutamakan hal-hal yang sunnah, seraya mengabaikan perkara-perkara yang wajib. Mereka lebih menomorsatukan hal-hal yang sesungguhnya hanya merupakan keutamaan, sementara mereka menomorduakan hal-hal yang sesungguhnya merupakan kewajiban.
Mungkin kita pernah atau malah sering menyaksikan pemandangan berikut:
Seseorang rajin menghadiri majelis-majelis dzikir, tetapi dalam bekerja kepada orang lain ia sering mangkir;
Seseorang banyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah, namun banyak pula ia melakukan ghibah;
Seseorang rajin menunaikan shalat-shalat sunnah, tetapi rajin pula melakukan perkara-perkara bid’ah;
Seseorang biasa berpuasa Senin-Kamis, tetapi biasa pula bersikap pragmatis (tak peduli halal-haram);
Seseorang rajin bersedekah, namun tak peduli nafkahnya ia peroleh dari jalan yang salah;
Seseorang berkali-kali melakukan ibadah umrah, tetapi tak sekalipun ia mau saat diajak berdakwah;
Seseorang rajin membaca Al Qur'an, namun perintah dan larangan yang ada di dalamnya sering ia abaikan;
Seseorang mengklaim cinta dan banyak bershalawat kepada Rasulullah saw. namun terhadap nasib Islam yang beliau bawa dan masa depan umatnya ia tak peduli; Seseorang biasa menyantuni fakir-miskin dan kaum dhuafa, namun biasa pula ia makan dari uang hasil riba;
Seseorang bergelar haji bahkan ke Mekkah lebih dari sekali tetapi terhadap tetangganya yang miskin sering tak peduli;
Seseorang selalu berusaha menjaga citra dan kehormatan diri, namun auratnya ia pamerkan ke sana-kemari dan perilakunya tak terpuji;
Seseorang menjadi donatur kegiatan keagamaan/sosial di sana-sini, namun hartanya ternyata hasil korupsi. Demikian seterusnya hingga kita sering menyaksikan hal-hal yang saling berkontradiksi.
Padahal Allah swt pun jelas telah mengutamakan kewajiban daripada perkara-perkara yang sunnah. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah swt telah berfirman, “Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Seorang hamba terus-menerus bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya” (HR al-Bukhari).
Melalui hadits qudsi ini, jelas Allah swt menghendaki setiap Mukmin bertaqarrub kepada-Nya: pertama-tama dengan melaksanakan semua kewajiban, baik berupa fardlu ‘ain maupun fardlu kifayah; kemudian melengkapinya dengan menunaikan amalan-amalan sunnah. Dengan itu, keutamaan bisa kita raih, dan kewajiban pun bisa kita tunaikan. Dengan itu pula, akan sempurnalah taqarrub kita kepada-Nya.
Sabtu, 19 Juni 2010
Meraih Keutamaan Tanpa Melupakan Kewajiban
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar