Jumat, 31 Desember 2010

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi

Seorang muslim hendaklah mengetahui bahwa tahun baru (masehi) bukanlah hari raya Islam. Tahun baru bukanlah salah satu hari raya Islam sebagaimana Idul Fithri dan Idul Adha. Jika kita melirik pada sejarah umat Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in ataupun ulama-ulama madzhab semacam Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad; kita akan jelas mengetahui bahwa tahun baru bukanlah hari raya Islam sama sekali. Tidak ada satu orang pun dari generasi terbaik umat ini yang merayakannya. Lalu pantaskah kita sebagai seorang muslim menganggap baik merayakan tahun baru? Cukuplah perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut menjawab pertanyaan di atas.

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ


“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”

Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqaf ayat 11). Berarti yang tidak mereka lakukan, lalu dilakukan oleh orang-orang setelah mereka adalah perkara yang jelek. Maka begitu pula halnya kita katakan pada perayaan tahun baru. Seandainya perayaan tersebut adalah baik, tentu para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya.

Perlu diketahui pula bahwa merayakan semacam ini juga berarti telah meniru-niru orang kafir. Karena kita ketahui bersama bahwa budaya perayaan ini adalah budaya mereka, orang barat yang kafir, tidaklah pantas seorang muslim meniru-niru mereka. Ingatlah bahwa suri tauladan dan panutan kita telah memberi wejangan kepada kita,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Inilah dampak yang sangat besar yang menyerang aqidah dan akhlak seorang muslim. Selanjutnya kita akan melihat dampak negatif lainnya.

Dampak Negatif Merayakan Tahun Baru (Masehi)

Pertama; merayakan tahun baru berarti telah meniru-niru orang kafir (tasyabbuh), sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kedua; merayakan tahun baru berarti telah membuat perkara bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan salafush shaleh. Termasuk juga berdzikir (secara jama’ah) untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, ini juga termasuk bid’ah yang tidak ada tuntunannya sama sekali.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.


”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ


“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Ketiga; telah terjerumus dalam keharaman dengan mengucapkan selamat tahun baru. Karena kita ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin sama sekali. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini.

Ibnul Qayyim dalam Ahkamu Ahli Dzimmah mengatakan, ”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau tahun baru, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.”

Keempat; merayakan tahun baru juga dapat melalaikan dari perkara wajib yaitu shalat lima waktu.

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk, menunggu hingga detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari perkara wajib yaitu menunaikan shalat Shubuh. Bahkan mungkin di antara mereka tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mungkin mereka tidur hingga pertengahan siang. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa jika sengaja begadang seperti ini mengakibatkan bangun kesiangan sehingga shalat shubuh dikerjakan setelah matahari terbit, maka bentuk kesengajaan seperti sama saja dengan meninggalkan shalat. Namun yang lebih parah adalah jika tidak mengerjakan shalat shubuh sama sekali. Ingatlah bahwa dosa meninggalkan shalat bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7)

Kelima; orang yang merayakan tahun baru juga akan luput dari shalat yang sangat utama yaitu shalat malam (shalat tahajud). Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ


“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Melalaikan shalat malam karena disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Keenam; begadang setelah Isya adalah perkara yang dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali memang ada kepentingan syar’i.

Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat Isya’ dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)

Ketujuh; merayakan tahun baru dengan membunyikan mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya adalah suatu kemungkaran karena hal ini dapat mengganggu muslim lainnya, mengganggu orang yang sedang butuh istirahat atau mengganggu orang yang sedang sakit. Padahal sifat seorang muslim adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41)

Kedelapan; merayakan tahun baru juga termasuk pemborosan harta. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000, lalu yang melaksanakan tahun baru sekitar 10 juta orang, hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dan sebagainya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isra’ [17]: 26-27).

Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Seandainya seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qatadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27)

3 komentar:

Rela Rahmah mengatakan...

huhuhu.. aku g ngerayain tahun baru, syukur lah.. trnyata ada juga hikmahnya ortu ku g suka acara gitu-an..

tiap malam tahun baru pasti kaget-kaget mulu denger suara mercon =.=" huah

Htono mengatakan...

bgus jga ne article, btw mster ex asal poting smber a dari mana sih ??
ksih tau ya..
thank

lukman mengatakan...

Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru...

Posting Komentar

Edited by EXz
Visit Original Post Islamic2 Template