Jumat, 08 Oktober 2010

Jalan Menuju Allah

Penulis : Kholis

Banyak orang yang tersesat mencari Allah, karena tidak menyadari keberadaan Allah yang sangat dekat dengan manusia. Allah sesungguhnya tidak perlu dicari. Hanya sesuatu yang pernah hilang yang pantas dicari, sementara Allah selalu ada dimana-mana, dan tidak pernah hilang. Allah tidak pernah tidur dan selalu mengawasi gerak-gerik kita. Tidak ada satu pun yang luput dari-Nya, Karena, Ia yang meliputi langit dan bumi beserta isinya.

Maha suci Allah Pemberi Rahmat Alam Semesta.
Tak perlu jalan yang terjal dan sulit untuk mengenal-Nya. Untuk mengenal Allah tidak perlu rumit-rumit, tidak perlu pusing-pusing. Tidak menjadi jaminan orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, sudah mengenal Allah. Akal tidak mampu membuka rahasia Allah. Hanya hati orang mukmin yang mampu merasakan dan mewadahi Asmaul Husna.

Bacalah Al-Qur'an dengan hati penuh keimanan. Mushaf suci itu adalah kalam Ilahi yang tidak cukup dipahami dengan akal. Jangan sampai terjebak kita hanya menjadi pakar Al-Qur'an, tapi sesungguhnya tidak memahami hakekatnya. Hati pun tak pernah bergetar kala dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Jiwa membeku tak merasakan getaran kehadiran Allah. Dan, hati pun menjadi buta dengan petunjuk-Nya.

Oleh karena itu, saatnya membuka jiwa dan mengasah hati agar merasakan kehadiran Allah. Namun, kita sering terhijab dengan pikiran dan perasaan kita sendiri. Jalan menuju Allah pun akhirnya terhadang oleh tubuh kita yang sering dipenuhi nafsu amarah. Jika kita hanya dibalut dengan pikiran dan perasaan, maka kita tak akan pernah terhubung pada Allah Yang Maha Kuasa.

Namun, jika kita berdzikir dengan asma-asma Allah, lisan kita, pikiran kita dan perasaan kita akan bersatu menuju Allah. Meski kesengsaraan dan kepayahan menghimpit kita, tak ada satu pun yang mampu menggoyahkan tekad jika hati sudah tertanam aqidah dan jiwa sudah menjawab panggilan-Nya.

Saat Nabi Muhammad mengajak para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah, bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Jarak tempuh dari kota Mekah sampai ke Madinah, pada saat itu hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau naik unta. Nabi bersama rombongan membutuhkan waktu yang lama, berbulan-bulan untuk tiba di Madinah, yang saat itu bernama Yatsrib. Tak banyak umat Islam yang siap menempuh medan yang berat, melewati padang pasir yang gersang dan berbahaya, apalagi dengan bekal makanan dan minuman yang terbatas. Inilah ujian yang berat bagi umat muslim. Apakah umat Islam kalah dalam ujian ini? Apakah umat muslim memilih mundur dari tantangan itu?

Hanya kaum muslim yang memiliki iman yang kuat, yang berani menempuh perjalanan sulit itu. Nabi tidak membutuhkan umat yang banyak dalam peristiwa hijrah itu. Nabi cukup memiliki sedikit sahabat yang benar-benar teruji imannya. Nabi tidak membutuhkan umatnya, yang berhijrah karena harta atau wanita. Karena, mereka yang terpilih adalah yang melakukan hijrah karena Allah semata.

Iman adalah cahaya yang mampu menembus sekat-sekat. Daya vibrasinya kuat, hingga menggetarkan alam semesta. Inilah awal mula Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, karena modal iman yang kuat. Islam berkembang pesat hingga saat ini setelah Nabi menanamkan pondasi aqidah, yang dipegang teguh oleh para sahabat, para tabi'in serta umatnya hingga zaman ini.

Saat ini kita sudah mengucapkan syahadat sebagai sebuah kesaksian spiritual akan keesaan Allah, dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Kita pun mengaku sudah beriman. Namun, kita sering merasakan hampa dalam kehidupan ini. Kita masih sering sedih, bingung, takut dan pesimis. Kita pun tak merasakan kehadiran Allah, karena pikiran dan perasaan kita lebih banyak terikat dalam kehidupan duniawi.

Kita merasakan kesenangan karena sensasi kesenangan duniawi baik berupa harta, tahta, istri atau anak-anak kita. Sebaliknya, kita pun menderita karena keinginan duniawi kita tak terpenuhi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering tertambat dengan istri kita, anak-anak kita, atau harta kita. Di sanalah letak persoalannya yang membuat kita sedih atau senang. Dalam sebuah hadist Nabi bersabda, “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka bersiaplah untuk disakiti olehnya, barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan diperbudaknya.”

Keimanan kita salah satunya ditentukan keimanan terhadap takdir baik dan takdir buruk yang menimpa kita. Iman kita sering ambruk karena gagal menerima takdir buruk dari Allah. Setiap orang baik beriman maupun tidak beriman akan menghadapi takdir Allah, namun ada perbedaan yang mendasar. Bagi orang beriman, semua persoalan akan dikembalikan pada Allah. Semuanya milik Allah dan akan kembali pada Allah.

Semua orang baik yang beriman maupun tidak beriman akan mendapat persoalan, atau kesulitan hidup. Tidak benar ada keyakinan bahwa hanya orang yang beriman yang mendapat ujian. Kita, orang-orang yang imannya masih tipis, tetap akan dihadang oleh takdir Allah yang mungkin rasanya pahit atau rasanya enak. Tapi ada perbedaan bagi orang yang beriman dan tidak beriman dalam menghadapi takdir Allah.

Orang yang beriman akan menyadari rahasia di balik takdir yang diberikan oleh Allah. Karena, ia selalu menghadap dan berkomunikasi dengan Allah, melalui shalatnya yang khusyu'.

Kekhusyu'an akan membawa kita pada tahapan ihsan, merasakan bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya. Bahkan, ia akan makin merasakan bahwa semua penglihatan, pendengaran, dan geraknya adalah Allah.

Tingkatan iman seperti ini tak akan tercapai jika kita masih terhalang oleh dosa kita, akal kita dan kebodohan kita. Allah tidak akan bisa ditemui jika hati kita kotor. Allah tidak akan bisa digapai dengan akal dan kepintaran kita, karena Allah Zat Yang Maha Agung. Begitu pula, kebodohan kita membuat kita miskin ilmu, untuk memahami hakekat menuju Allah.

Nabi mengajarkan pada umatnya sebuah jalan untuk menuju Allah, yaitu shalat. Seringkali kita melakukan shalat, tetapi terlalu sibuk dengan gerakan dan bacaannya. Kita tidak mampu memisahkan mana tubuh kita, mana rohani kita.

Tubuh kita cenderung pada tanah, karena memang terbuat dari tanah. Maka, tidak heran kita cenderung mencintai sesuatu yang berasal dari tanah, seperti anak-anak kita, istri kita, perhiasan dan binatang ternak.

Sementara, rohani kita cenderung naik ke atas menuju Pemiliknya, yaitu Zat Yang Tidak bisa diserupakan dengan makhluk-Nya. Dengan shalat, rohani kita didorong dengan kesadaran untuk meninggalkan tubuh dan mencapai orbit Ilahi. Dirikanlah shalat dengan kesadaran jiwa, yang memiliki potensi ruh, karena inilah yang dipanggil Allah dan dimasukkan ke golongan hamba-hamba-Nya yang diridhai-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Edited by EXz
Visit Original Post Islamic2 Template