Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah adalah semua hal yang dicintai dan diridhai Allah swt., menyangkut ucapan maupun perbuatan, baik yang nampak maupun yang tidak nampak secara kasat mata. Jadi selagi hal tersebut merupakan hal yang dicintai dan diridhai Allah, maka semuanya bisa disebut ibadah. Atau ibadah adalah semua perbuatan baik yang niatnya adalah mencari ridha Allah swt.
Jadi, jangan mengartikan ibadah hanya dalam bentuk shalat, puasa, zakat, haji, berdzikir dan membaca Al Qur’an saja, tetapi lebih dari itu. Belajar atau sekolah untuk mencari ilmu, bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, menengok orang sakit, bahkan menyingkirkan duri di tengah jalan pun bisa disebut ibadah. Jadi pengertian ibadah itu sangat luas, seluas wilayah perbuatan baik yang bisa dilakukan oleh manusia dalam hidupnya.
Dari pengertian ini maka jenis ibadah sesungguhnya tidak bisa dihitung berapa banyaknya. Jika perbuatan baik itu bisa disebut ibadah, maka jumlah ibadah itu sendiri adalah sejumlah perbuatan baik yang dikenal manusia. Namun, para ulama membagi ibadah itu dalam dua jenis, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah mu’amalah.
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah. Ibadah jenis ini biasanya berupa penyembahan seorang hamba kepada Allah. Banyak ulama menyatakan bahwa yang termasuk ibadah jenis ini adalah shalat, zakat, haji, dzikir, dan puasa.
2. Ibadah Mu’amalah
Ibadah mu’amalah adalah ibadah yang mencakup hubungan antar-manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah. Ibadah jenis ini lebih bersifat social, yaitu berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain.
Dibandingkan dengan ibadah mahdhah, ibadah mu’amalah mempunyai variasi bentuk yang lebih banyak. Demikian pula dengan tata aturannya. Ibadah mahdhah mempunyai tata aturan yang sudah mutlak, sementara itu ibadah mu’amalah tidak mempunyai tata aturan yang mengikat sehingga semua amal perbuatan manusia yang jelas-jelas tidak menyimpang dari larangan agama, semuanya bisa disebut ibadah, jika perbuatan itu termasuk perbuatan baik serta diorientasikan kepada Allah.
Jadi ada dua kategori yang harus terpenuhi dalam amal perbuatan hingga ia bisa disebut sebagai ibadah mu’amalah, pertama, perbuatan itu tergolong sebagai perbuatan baik yang jelas-jelas tidak melanggar aturan agama atau tidak termasuk sesuatu yang diharamkan, kedua, perbuatan itu orientasinya niat karena Allah atau diniati beribadah kepada Allah.
Dua kategori di atas adalah persyaratan agar amal perbuatan bisa bernilai ibadah. Jika salah satu dari persyaratan itu tidak terpenuhi, maka amal perbuatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah mu’amalah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan buruk yang melanggar aturan Allah atau jelas-jelas diharamkan, tidak bisa disebut ibadah meskipun diniati untuk beribadah. Demikian juga sebaliknya. Tindakan-tindakan tertentu yang tergolong sebagai amal baik tidak bisa bernilai jika dilakukan bukan untuk berniat beribadah. Sebagai contoh, misalnya seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin membagi-bagikan sejumlah uang kepada orang banyak dengan maksud agar ia dipilih dan terpilih, maka pemberian itu bukan termasuk sedekah yang bernilai ibadah, sebab tujuan dari pemberian tersebut bukan untuk Allah melainkan untuk menarik simpati. Ini adalah salah satu contoh kecil dari sekian banyaknya amal kebajikan yang tidak bernilai ibadah sebab tidak ada unsur niat beribadah di dalamnya.
Jadi, yang dibutuhkan agar amal kebajikan itu bisa bernilai ibadah adalah niat. Niat untuk ibadah kepada Allah tentunya. Yang dimaksud ibadah disini adalah niat mempersembahkan amal kebajikan itu untuk Allah, bukan untuk yang lain. Jadi, meski seseorang nyata-nyata melaksanakan ritual ibadah, misalnya shalat dan puasa, namun jika niatnya tidak ikhlas karena Allah, maka hal itu menjadi percuma. Ibadah model ini tidak akan diterima Allah. Naudzubillahi min dzalik.
Kesimpulannya, ibadah itu intinya pada niatnya, dan yang dibutuhkan dalam niat itu hanya satu, yakni ikhlas. Ibadah dalam bentuk apapun, sekecil atau sebesar apapun, semua itu baru bisa diterima Allah dan bisa dikategorikan sebagai ibadah jika dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah.
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah. Ibadah jenis ini biasanya berupa penyembahan seorang hamba kepada Allah. Banyak ulama menyatakan bahwa yang termasuk ibadah jenis ini adalah shalat, zakat, haji, dzikir, dan puasa.
2. Ibadah Mu’amalah
Ibadah mu’amalah adalah ibadah yang mencakup hubungan antar-manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah. Ibadah jenis ini lebih bersifat social, yaitu berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain.
Dibandingkan dengan ibadah mahdhah, ibadah mu’amalah mempunyai variasi bentuk yang lebih banyak. Demikian pula dengan tata aturannya. Ibadah mahdhah mempunyai tata aturan yang sudah mutlak, sementara itu ibadah mu’amalah tidak mempunyai tata aturan yang mengikat sehingga semua amal perbuatan manusia yang jelas-jelas tidak menyimpang dari larangan agama, semuanya bisa disebut ibadah, jika perbuatan itu termasuk perbuatan baik serta diorientasikan kepada Allah.
Jadi ada dua kategori yang harus terpenuhi dalam amal perbuatan hingga ia bisa disebut sebagai ibadah mu’amalah, pertama, perbuatan itu tergolong sebagai perbuatan baik yang jelas-jelas tidak melanggar aturan agama atau tidak termasuk sesuatu yang diharamkan, kedua, perbuatan itu orientasinya niat karena Allah atau diniati beribadah kepada Allah.
Dua kategori di atas adalah persyaratan agar amal perbuatan bisa bernilai ibadah. Jika salah satu dari persyaratan itu tidak terpenuhi, maka amal perbuatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah mu’amalah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan buruk yang melanggar aturan Allah atau jelas-jelas diharamkan, tidak bisa disebut ibadah meskipun diniati untuk beribadah. Demikian juga sebaliknya. Tindakan-tindakan tertentu yang tergolong sebagai amal baik tidak bisa bernilai jika dilakukan bukan untuk berniat beribadah. Sebagai contoh, misalnya seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin membagi-bagikan sejumlah uang kepada orang banyak dengan maksud agar ia dipilih dan terpilih, maka pemberian itu bukan termasuk sedekah yang bernilai ibadah, sebab tujuan dari pemberian tersebut bukan untuk Allah melainkan untuk menarik simpati. Ini adalah salah satu contoh kecil dari sekian banyaknya amal kebajikan yang tidak bernilai ibadah sebab tidak ada unsur niat beribadah di dalamnya.
Jadi, yang dibutuhkan agar amal kebajikan itu bisa bernilai ibadah adalah niat. Niat untuk ibadah kepada Allah tentunya. Yang dimaksud ibadah disini adalah niat mempersembahkan amal kebajikan itu untuk Allah, bukan untuk yang lain. Jadi, meski seseorang nyata-nyata melaksanakan ritual ibadah, misalnya shalat dan puasa, namun jika niatnya tidak ikhlas karena Allah, maka hal itu menjadi percuma. Ibadah model ini tidak akan diterima Allah. Naudzubillahi min dzalik.
Kesimpulannya, ibadah itu intinya pada niatnya, dan yang dibutuhkan dalam niat itu hanya satu, yakni ikhlas. Ibadah dalam bentuk apapun, sekecil atau sebesar apapun, semua itu baru bisa diterima Allah dan bisa dikategorikan sebagai ibadah jika dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah.
0 komentar:
Posting Komentar